Perkembangan ilmu pengetahuan
menjadi disiplin ilmu
beserta klasifikasi perkembangan
ilmu tersebut
Pendahuluan
Terlepas dari perbedaan
pendapat mengenai permulaan zaman pra-sejarah dan zaman sejarah, dapat ditarik
kesimpulan bahwa ilmu lahir seiring dengan adanya manusia di muka bumi hanya
saja penamaan ilmu-ilmu itu biasanya muncul belakangan. Penekanan terhadap
kegunaan dan aplikasi cenderung lebih diutamakan daripada penamaannya. Teori
ini berlaku secara umum terhadap beberapa – untuk tidak dikatakan semua–
disiplin ilmu dari generasi ke generasi. Berbekal otak, pengalaman, dan
pengamatan terhadap gejala-gejala alam, manusia purba sudah barang tentu
memiliki seperangkat pengetahuan yang dapat membantu mereka mengarungi
kehidupan. Seperangkat pengetahuan tersebut semakin lama akan semakin tersusun
rapi karena inilah karakteristik dasar ilmu. Jika kita menafikan adanya ilmu
tertentu yang mereka miliki, maka kita akan sulit menjawab pertanyaan:
mungkinkah mereka bisa bertahan hidup bertahun-tahun tanpa bekal apapun?
Selanjutnya Mouly
menyebutkan bukti-bukti secara berurutan terhadap pernyataannya sebagai
berikut: Usaha mula-mula di bidang keilmuan yang tercatat dalam lembaran
sejarah dilakukan oleh bangsa Mesir, di mana banjir sungai Nil yang terjadi
tiap tahun ikut menyebabkan berkembangnya sistem almanak, geometri, dan
kegiatan survei. Keberhasilan ini kemudian diikuti oleh bangsa Babilonia dan Hindu
yang memberikan sumbangan-sumbangan yang berharga meskipun tidak seinsentif
kegiatan bangsa Mesir. Setelah itu muncul bangsa Yunani yang menitikberatkan
pada pengorganisasian ilmu di mana mereka bukan saja menyumbang perkembangan
ilmu dengan astronomi, kedokteran, dan sistem klasifikasi Aristoteles, namun
juga silogisme yang menjadi dasar bagi penjabaran secara deduktif
pengalaman-pengalaman manusia.
Peradaban Mesir kuno,
misalnya, mewariskan peninggalan-peninggalan bermutu tinggi seperti piramida,
kuil, dan sistem penatanan kota. Peninggalan-peninggalan ini tidak mungkin ada
tanpa adanya ilmu yang mereka miliki. Proses pembangunan piramida yang
menjulang tinggi dan tersusun dari batu-batu besar pilihan tak bisa lepas dari
matematika dan arsitektur. Begitu pula dengan proses pembangunan kuil megah
mereka. Sementara itu, sistem penataan kota membutuhkan arsitektur dan
administrasi pemerintahan. Dengan kata lain, peninggalan-peninggalan bersejarah
tersebut menunjukkan adanya ilmu-ilmu tertentu yang mereka miliki sehingga
mereka bisa mewujudkan impian mereka menjadi kenyataan. Menurut Haekal, Mesir
adalah pusat yang paling menonjol membawa peradaban pertama ke Yunani atau
Rumawi.
Sementara itu, menurut
Betrand Russell, pada masa Babilonia lahir beberapa hal yang tergolong ilmu
pengetahuan: pembagian hari menjadi dua puluh empat jam, lingkaran menjadi 360
derajat, penemuan siklus gerhana yang memungkinkan terjadinya gerhana bulan
bisa diramal dengan tepat dan gerhana matahari dengan beberapa perkiraan. Pengetahuan
bangsa Babilonia ini sampai ke tangan Thales , filosof Yunani.
Ilmu Pengetahuan Zaman
Yunani Kuno
Yunani kuno sangat
identik dengan filsafat. Ketika kata Yunani disebutkan, maka yang terbesit di
pikiran para peminat kajian keilmuan bisa dipastikan adalah filsafat. Padahal
filsafat dalam pengertian yang sederhana sudah ada jauh sebelum para filosof
klasik Yunani menekuni dan mengembangkannya. Filsafat di tangan mereka menjadi
sesuatu yang sangat berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada generasi-generasi
setelahnya. Ia ibarat pembuka pintu-pintu aneka ragam disiplin ilmu yang
pengaruhnya terasa hingga sekarang. Sehingga wajar saja bila generasi-generasi
setelahnya merasa berhutang budi padanya, termasuk juga umat Islam pada abad
pertengahan masehi bahkan hingga sekarang. Tanpa mengkaji dan mengembangkan
warisan filsafat Yunani rasanya sulit bagi umat Islam kala itu merengkuh zaman
keemasannya. Begitu juga orang Barat tanpa mengkaji pengembangan filsafat
Yunani yang dikembangkan oleh umat Islam rasanya sulit bagi mereka membangun
kembali peradaban mereka yang pernah mengalami masa-masa kegelapan menjadi
sangat maju dan mengungguli peradaban-peradaban besar lainnya seperti sekarang
ini.
Periode filsafat Yunani
merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada
waktu ini terjadi perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi
logosentris. Dari proses inilah kemudian ilmu berkembang dari rahim filsafat
yang akhirnya kita nikmati dalam bentuk teknologi. Karena itu, periode
perkembangan filsafat Yunani merupakan entri poin untuk memasuki peradaban baru
umat manusia. Inilah titik awal manusia menggunakan rasio untuk meneliti dan
sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya.
Filosof alam pertama
yang mengkaji tentang asal-usul alam adalah Thales (624-546 SM), setelah itu
Anaximandros (610-540 SM), Heraklitos (540-480 SM), Parmenides (515-440 SM),
dan Phytagoras (580-500). Thales, yang dijuluki bapak filsafat, berpendapat
bahwa asal alam adalah air. Menurut Anaximandros substansi pertama itu bersifat
kekal, tidak terbatas, dan meliputi segalanya yang dinamakan apeiron, bukan air
atau tanah. Heraklitos melihat alam semesta selalu dalam keadaan berubah.
Baginya yang mendasar dalam alam semesta adalah bukan bahannya, melainkan aktor
dan penyebabnya yaitu api. Bertolak belakang dengan Heraklitos, Parmenides
berpendapat bahwa realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak
dan tidak berubah. Phytagoras berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama
alam dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan
ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Jasa Phytagoras sangat besar dalam
pengembangan ilmu, terutama ilmu pasti dan ilmu alam. Ilmu yang dikembangkan
kemudian hari sampai hari ini sangat bergantung pada pendekatan matematika.
Jadi setiap filosof mempunyai pandangan berbeda mengenai seluk beluk alam
semesta. Perbedaan pandangan bukan selalu berarti negatif, tetapi justeru
merupakan kekayaan khazanah keilmuan. Terbukti sebagian pandangan mereka mengilhami
generasi setelahnya.
Setelah mereka kemudian
muncul beberapa filosof Sofis sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan mereka
terhadap jawaban dari para filosof alam dan mengalihkan penelitian mereka dari
alam ke manusia. Bagi mereka, manusia adalah ukuran kebenaran sebagaimana
diungkapkan oleh Protagoras (481-411 SM), tokoh utama mereka. Pandangan ini
merupakan cikal bakal humanisme. Menurutnya, kebenaran bersifat subyektif dan
relatif. Akibatnya, tidak akan ada ukuran yang absolut dalam etika, metafisika,
maupun agama. Bahkan dia tidak menganggap teori matematika mempunyai kebenaran
absolut. Selain Protagoras ada Gorgias (483-375 SM). Menurutnya, penginderaan
tidak dapat dipercaya. Ia adalah sumber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan
kita tentang alam semesta karena akal kita telah diperdaya oleh dilema
subyektifitas. Pengaruh positif gerakan kaum sofis cukup terasa karena mereka
membangkitkan semangat berfilsafat. Mereka tidak memberikan jawaban final
tentang etika, agama, dan metafisika.
Pandangan para filosof
Sofis tersebut disanggah oleh para filosof setelahnya seperti Socrates (470-399
SM), Plato (429-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM). Menurut mereka, ada
kebenaran obyektif yang bergantung kepada manusia. Socrates membuktikan adanya
kebenaran obyektif itu dengan menggunakan metode yang bersifat praktis dan
dijalankan melalui percakapan-percakapan. Menurutnya, kebenaran universal dapat
ditemukan. Bagi Plato, esensi mempunyai realitas yang ada di alam idea.
Kebenaran umum ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam idea. Filsafat
Yunani klasik mengalami puncaknya di tangan Aristoteles. Dia adalah filosof
yang pertama kali membagi filsafat pada hal yang teoritis (logika, metafisika,
dan fisika) dan praktis (etika, ekonomi, dan politik). Pembagian ilmu inilah
yang menjadi pedoman bagi klasifikasi ilmu di kemudian hari. Dia dianggap
sebagai bapak ilmu karena mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara
sistematis. Karena demikian meresapnya serta lamanya pengaruh ajaran-ajaran
Plato dan Aristoteles, A.N. Whitehead memberikan catatan bahwa segenap filsafat
sesudah masa hidup keduanya sesungguhnya merupakan usulan-usulan belaka
terhadap ajaran-ajaran mereka. Pendapat Whitehead tidak seluruhnya benar karena
umat Islam, misalnya, selain mengembangkan filsafat mereka, mereka juga
melakukan inovasi di beberapa persoalan filsafat Yunani sehingga memiliki
karakteristik islami.
Ilmu Pengetahuan Zaman
Islam Klasik
Ilmu-ilmu keislaman
seperti tafsir, hadis, fiqih, usul fiqih, dan teologi sudah berkembang sejak
masa-masa awal Islam hingga sekarang. Khusus dalam bidang teologi, Muktazilah
dianggap sebagai pembawa pemikiran-pemikiran rasional. Menurut Harun Nasution,
pemikiran rasional berkembang pada zaman Islam klasik (650-1250 M). Pemikiran
ini dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal
seperti yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadis. Persepsi ini bertemu dengan
persepsi yang sama dari Yunani melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di
kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia Islam Zaman Klasik, seperti
Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syiria), dan Bactra (Persia).
W. Montgomery Watt
menambahkan lebih rinci bahwa ketika Irak, Syiria, dan Mesir diduduki oleh
orang Arab pada abad ketujuh, ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dikembangkan
di berbagai pusat belajar. Terdapat sebuah sekolah terkenal di Alexandria,
Mesir, tetapi kemudian dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan kemudian –pada
sekitar tahun 900 M– ke Baghdad. Kolese Kristen Nestorian di Jundisyapur, pusat
belajar yang paling penting, melahirkan dokter-dokter istana Hārūn al-Rashīd
dan penggantinya sepanjang sekitar seratus tahun. Akibat kontak semacam ini,
para khalifah dan para pemimpin kaum Muslim lainnya menyadari apa yang harus
dipelajari dari ilmu pengetahuan Yunani. Mereka mengagendakan agar
menerjemahkan sejumlah buku penting dapat diterjemahkan. Beberapa terjemahan
sudah mulai dikerjakan pada abad kedelapan. Penerjemahan secara serius baru
dimulai pada masa pemerintahan al-Ma’mūn (813-833 M). Dia mendirikan Bayt
al-Ḥikmah, sebuah lembaga khusus penerjemahan. Sejak saat itu dan seterusnya,
terdapat banjir penerjemahan besar-besaran. Penerjemahan terus berlangsung
sepanjang abad kesembilan dan sebagian besar abad kesepuluh.
Buku-buku matematika dan
astronomi adalah buku-buku yang pertama kali diterjemahkan. Al-Khawārizmī
(Algorismus atau Alghoarismus) merupakan tokoh penting dalam bidang matematika
dan astronomi. Istilah teknis algorisme diambil dari namanya. Dia memberi
landasan untuk aljabar. Istilah “algebra” diambil dari judul karyanya.
Karya-karyanya adalah rintisan pertama dalam bidang aritmatika yang menggunakan
cara penulisan desimal seperti yang ada dewasa ini, yakni angka-angka Arab.
Al-Khawārizmī dan para penerusnya menghasilkan metode-metode untuk menjalankan
operasi-operasi matematika yang secara aritmatis mengandung berbagai kerumitan,
misalnya mendapatkan akar kuadrat dari satu angka. Di antara ahli matematika
yang karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin adalah al-Nayrīzī atau
Anaritius (w. 922 M) dan Ibn al-Haytham atau Alhazen (w. 1039 M). Ibn
al-Haytham menentang teori Eucleides dan Ptolemeus yang menyatakan bahwa sinar
visual memancar dari mata ke obyeknya, dan mempertahankan pandangan
kebalikannya bahwa cahayalah yang memancar dari obyek ke mata. Di bidang
astronomi, al-Battānī (Albategnius) menghasilkan table-tabel astronomi yang
luar biasa akuratnya pada sekitar tahun 900 M. Ketepatan observasi-observasinya
tentang gerhana telah digunakan untuk tujuan-tujuan perbandingan sampai tahun
1749 M. Selain al-Battānī, ada Jābir ibn Aflaḥ (Geber) dan al-Biṭrūjī
(Alpetragius). Jābir ibn Aflaḥ dikenal karena karyanya di bidang trigonometri
sperik. Di bidang astronomi dan matematika, ada juga Maslamah al-Majrīṭī (w.
1007 M), Ibn al-Samḥ, dan Ibn al-Ṣaffār. Ibn Abī al-Rijāl (Abenragel) di bidang
astrologi.
Dalam bidang kedokteran
ada Abū Bakar Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī atau Rhazes (250-313 H/864-925 M
atau 320 H/932 M) , Ibn Sīnā atau Avicenna (w. 1037 M), Ibn Rushd atau Averroes
(1126-1198 M), Abū al-Qāsim al-Zahrāwī (Abulcasis), dan Ibn Ẓuhr atau Avenzoar
(w. 1161 M). Al-Ḥāwī karya al-Rāzī merupakan sebuah ensiklopedi mengenai
seluruh perkembangan ilmu kedokteran sampai masanya. Untuk setiap penyakit dia
menyertakan pandangan-pandangan dari para pengarang Yunani, Syiria, India,
Persia, dan Arab, dan kemudian menambah catatan hasil observasi klinisnya
sendiri dan menyatakan pendapat finalnya. Buku Canon of Medicine karya Ibnu
Sīnā sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 M dan terus
mendominasi pengajaran kedokteran di Eropa setidak-setidaknya sampai akhir abad
ke-16 M dan seterusnya. Tulisan Abū al-Qāsim al-Zahrāwī tentang pembedahan
(operasi) dan alat-alatnya merupakan sumbangan yang berharga dalam bidang
kedokteran.
Dalam bidang kimia ada
Jābir ibn Ḥayyān (Geber) dan al-Bīrūnī (362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya
Jābir ibn Ḥayyān memaparkan metode-metode pengolahan berbagai zat kimia maupun
metode pemurniannya. Sebagian besar kata untuk menunjukkan zat dan bejana-bejana
kimia yang belakangan menjadi bahasa orang-orang Eropa berasal dari
karya-karyanya. Sementara itu, al-Bīrūnī mengukur sendiri gaya berat khusus
dari beberapa zat yang mencapai ketepatan tinggi.
Dalam bidang botani,
zoologi, mineralogi, karya orang Arab mencakup gambaran dan daftar berbagai
macam tanaman, binatang, dan batuan. Beberapa di antaranya memiliki kegunaan
praktis, yakni ketika karya tersebut dihubungkan dengan bidang farmakologi dan
perawatan medis.
Selain disiplin-disiplin
ilmu di atas, sebagian umat Islam juga menekuni logika dan filsafat. Sebut saja
al-Kindī, al-Fārābī (w. 950 M), Ibn Sīnā atau Avicenna (w. 1037 M), al-Ghazālī
(w. 1111 M), Ibn Bājah atau Avempace (w. 1138 M), Ibn Ṭufayl atau Abubacer (w.
1185 M), dan Ibn Rushd atau Averroes (w. 1198 M). Menurut Felix Klein-Franke,
al-Kindī berjasa membuat filsafat dan ilmu Yunani dapat diakses dan membangun
fondasi filsafat dalam Islam dari sumber-sumber yang jarang dan sulit, yang
sebagian di antaranya kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh al-Fārābī.
Al-Kindī sangat ingin memperkenalkan filsafat dan sains Yunani kepada sesama
pemakai bahasa Arab, seperti yang sering dia tandaskan, dan menentang para
teolog ortodoks yang menolak pengetahuan asing. Menurut Betrand Russell, Ibn
Rushd lebih terkenal dalam filsafat Kristen daripada filsafat Islam. Dalam
filsafat Islam dia sudah berakhir, dalam filsafat Kristen dia baru lahir.
Pengaruhnya di Eropa sangat besar, bukan hanya terhadap para skolastik, tetapi
juga pada sebagian besar pemikir-pemikir bebas non-profesional, yang menentang
keabadian dan disebut Averroists. Di Kalangan filosof profesional, para
pengagumnya pertama-tama adalah dari kalangan Franciscan dan di Universitas
Paris. Rasionalisme Ibn Rushd inilah yang mengilhami orang Barat pada abad
pertengahan dan mulai membangun kembali peradaban mereka yang sudah terpuruk
berabad-abad lamanya yang terwujud dengan lahirnya zaman pencerahan atau
renaisans.
Ilmu Pengetahuan Zaman
Renaisans dan Modern
Michelet, sejarahwan
terkenal, adalah orang pertama yang menggunakan istilah renaisans. Para
sejarahwan biasanya menggunakan istilah ini untuk menunjuk berbagai periode
kebangkitan intelektual, khususnya di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia
sepanjang abad ke-15 dan ke-16.
Agak sulit menentukan garis batas yang jelas
antara abad pertengahan, zaman renaisans, dan zaman modern. Bisa dikatakan abad
pertengahan berakhir tatkala datangnya zaman renaisans. Sebagian orang
menganggap bahwa zaman modern hanyalah perluasan dari zaman renaisans.
Renaisans adalah periode perkembangan peradaban yang terletak di ujung atau
sesudah abad kegelapan sampai muncul abad modern. Renaisans merupakan era
sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi
perkembangan ilmu. Ciri utama renaisans yaitu humanisme, individualisme,
sekulerisme, empirisisme, dan rasionalisme. Sains berkembang karena semangat
dan hasil empirisisme, sementara Kristen semakin ditinggalkan karena semangat
humanisme.
Tokoh penemu di bidang
sains pada masa renaisans (abad 15-16 M): Nicolaus Copernicus (1473-1543 M),
Johanes Kepler (1571-1630 M), Galileo Galilei (1564-1643 M), dan Francis Bacon
(1561-1626 M). Copernicus menemukan teori heliosentrisme, yaitu matahari adalah
pusat jagad raya, bukan bumi sebagaimana teori geosentrisme yang dikemukakan
oleh Ptolomeus (127-151). Menurutnya, bumi memiliki dua macam gerak, yaitu
perputaran sehari-hari pada porosnya dan gerak tahunan mengelilingi matahari.
Teori ini melahirkan revolusi pemikiran tentang alam semesta, terutama
astronomi. Kepler adalah ahli astronomi Jerman yang terpengaruh ajaran
Copernicus. Dialah yang menemukan bahwa orbit planet berbentuk elips; bahwa
planet bergerak cepat bila berada di dekat matahari dan lambat bila jauh
darinya. Galileo adalah ahli astronomi Italia yang melakukan pengamatan
teleskopik dan mengukuhkan gagasan Copernicus bahwa tata surya berpusat pada
matahari. Inkuisi takut akan penemuannya dan memaksanya meninggalkan studi
astronominya. Dia juga berjasa dalam menetapkan hukum lintasan peluru, gerak, dan
percepatan. Dialah penemu planet Jupiter yang dikelilingi oleh empat buah
bulan.
Selanjutnya tokoh penemu
di bidang sains pada zaman modern (abad 17-19 M): Sir Isaac Newton (1643-1727
M), Leibniz (1646-1716 M), Joseph Black (1728-1799 M), Joseph Prestley
(1733-1804 M), Antonie Laurent Lavoiser (1743-1794 M), dan J.J. Thompson.
Newton adalah penemu teori gravitasi, perhitungan calculus, dan optika yang
mendasari ilmu alam. Pada masa Newton, ilmu yang berkembang adalah matematika,
fisika, dan astronomi. Pada periode selanjutnya ilmu kimia menjadi kajian yang
amat menarik. Black adalah pelopor dalam pemeriksaan kualitatif dan penemu gas
CO2. Prestley menemukan sembilan macam hawa No dan oksigen yang antara lain
dapat dihasilkan oleh tanaman. Lavoiser adalah peletak dasar ilmu kimia
sebagaimana kita kenal sekarang. J.J. Thompson menemukan elektron. Dengan
penemuannya ini, maka runtuhlah anggapan bahwa atom adalah bahan terkecil dan
mulailah ilmu baru dalam kerangka kimia-fisika yaitu fisika nuklir.
Perkembangan ilmu pada abad ke-18 telah melahirkan ilmu seperti taksonomi,
ekonomi, kalkulus, dan statistika, sementara pada abad ke-19 lahirlah
pharmakologi, geofisika, geomophologi, palaentologi, arkeologi, dan sosiologi.
Pada tahap selanjutnya, ilmu-ilmu zaman modern memengaruhi perkembangan ilmu
zaman kontemporer.
Ilmu Pengetahuan Zaman
Kontemporer
Perbedaan antara zaman
modern dengan zaman kontemporer yaitu zaman modern adalah era perkembangan ilmu
yang berawal sejak sekitar abad ke-15, sedangkan zaman kontemporer adalah era
perkembangan terakhir yang terjadi hingga sekarang. Perkembangan ilmu di zaman
ini meliputi hampir seluruh bidang ilmu dan teknologi, ilmu-ilmu sosial seperti
sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, hukum, dan politik serta ilmu-ilmu
eksakta seperti fisika, kimia, dan biologi serta aplikasi-aplikasinya di bidang
teknologi rekayasa genetika, informasi, dan komunikasi. Zaman kontemporer
identik dengan rekonstruksi, dekonstruksi, dan inovasi-inovasi teknologi di
berbagai bidang.
Sasaran rekonstruksi dan
dekonstruksi biasanya teori-teori ilmu sosial, eksakta, dan filsafat yang ada
sudah ada sebelumnya, sementara inovasi-inovasi teknologi semakin hari semakin
cepat seperti yang kita saksikan dan nikmati sekarang ini. Teknologi merupakan
buah dari perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan dari generasi ke
generasi. Komputer merupakan hasil pengembangan dari perkembangan listrik
(elektronika) yang pada awal penemuannya oleh Faraday belum diketahui
kegunaannya. Penemuan bola lampu oleh Edison disusul oleh penemuan radio,
televisi, dan komputer.[35] Dari komputer berkembang ke PC (private computer),
lap top, dan terakhir simuter yaitu komputer jenis PDA (personal digital
assistans).[36] Semua contoh ini merupakan bukti bahwa penemuan teknologi
sebagai buah perkembangan ilmu masih berkaitan dengan penemuan-penemuan
sebelumnya yang kemudian dikembangkan dengan ukuran fisik yang semakin kecil,
tetapi memiliki beragam keunggulan yang lebih besar.
Salah satu hasil
teknologi yang menakjubkan dan kontroversial adalah teknologi rekayasa genetika
yang berupa teknologi kloning. Dr. Gurdon dari Universitas Cambridge adalah
orang pertama yang melakukan teknologi ini pada tahun 1961. Gurdon berhasil
memanipulasi telur-telur katak sehingga tumbuh menjadi kecebong kloning. Pada
tahun 1993, Dr. Jerry Hall berhasil mengkloning embrio manusia dengan teknik
pembelahan. Pada tahun 1997, Dr. Ian Wilmut berhasil melakukan kloning mamalia
pertama dengan kelahiran domba yang diberi nama Dolly. Pada tahun yang sama
lahir lembu kloning pertama yang diberi mana Gene. Pada tahun 1998, para
peneliti di Universitas Hawai yang dipimpin oleh Dr. Teruhiko Wakayama berhasil
melakukan kloning terhadap tikus hingga lebih dari lima generasi. Pada tahun
2000, Prof. Gerald Schatten berhasil membuat kera kloning yang diberi nama
Tetra. Setelah berbagai keberhasilan teknik kloning yang pernah dilakukan, para
ahli malah lebih berencana menerapkan teknik kloning pada manusia.[37]
Setelah uraian-uraian di
atas, selanjutnya kita lihat tabel klasifikasi perkembangan sebagian ilmu
pengetahuan dari masa ke masa berdasarkan periodenya sebagai berikut[38]:
ILMU-ILMU
2000 SM-300 M
300 M-1400 M
1400 M-1600 M
Abad ke-17
Abad ke-18
Abad ke-19
Abad ke-20
MATEMATIKA
Ilmu Hitung
Geometri
Logika
Teori Bilangan Aljabar
Geometri Analitik
Trigonometri
Probabilitas dan
Statistika
Persamaan Diferensial
Kalkulus
Geometri Analistis
Topologi
Teori Informasi
Teori Fungsi
Geometri Non-Euclid
Logika Matematik
FISIKA
Mekanika
Optika
Termodinamika
Keelektrikan dan Kemagnetan
Kristalogi
Cryogenik
Mekanika Statistika
Mekanika Kwantum
Fisika Partikel
Fisika Nuklir
Fisika Plasma
Fisika Atom
Fisika Molekul
Fisika Zadat
Fisika Relativitas
KIMIA
Alkimia
Kimia Aroganik
Kimia Kedokteran
Kimia Analistis
Pharmakologi
Biokimia
Kimia Organik
Fisika Kwantum
Kimia Fisika
Kimia Nuklir
Kimia Polimer
ASTRONOMI
Kosmologi
Astronomi Posisionil
Mekanika Benda Langit
Astronomi Fisika
Astronautika
Radio Astronomi
Astrofisika
GEOLOGI
Eksplorasi
Geodesi
Mineralogi
Meteorologi
Geofisika
Statigrafi
Sejarah Geologi
Paleontologi
Mineralogi
Petrologi
Geormorphologi
Geografi Fisika/Fisis
Srtuktur Geologi
Geokimia
Hidrologi
Oceanografi
BIOLOGI
Ilmu Obat-obatan
Phisiologi
Anatomi
Botani dan Zoologi
Embriologi
Pathologi
Mikrobiologi
Taksonomi
Biofisika
Anatomi Perbandingan
Citologi
Histologi
Biokimia
Ekologi
Radiobiologi
Biologi Molekul
Genetika
SOSIAL
Pemerintahan
Sejarah
Filsafat
Politik
Ekonomi
Arkeologi
Antropologi Fisik
Sosiologi
Antropologi Budaya
Psikologi
Penutup
Tabel di atas belum
mencakup semua ilmu pengetahuan, karena menurut Jujun Suriasumantri, ilmu
pengetahuan dewasa ini telah berkembang menjadi sekitar 650 cabang. Di samping
sudah ada pemberdayaan antara ilmu-ilmu alam atau natural science dengan
ilmu-ilmu sosial, dikenal pula dengan pembedaan ilmu dan ilmu terapan. Pesatnya
kemajuan ilmu pengetahuan, menurut Chalmers, diperkirakan sejak 400 tahun yang
lalu, yaitu sejak Copernicus, Galileo, Kepler, dan yang lebih jelas lagi sejak
Francis Bacon pada abad ke-15 dan 16 sebagai ahli filsafat ilmu yang
mengemukakan perlunya suatu metode dalam mempelajari pengalaman. Bacon
menekankan bahwa
eksperimen dan observasi yang intensif merupakan landasan
perkembangan ilmu.[39]
Fakta-fakta di atas
menunukkan bahwa perkembangan ilmu tidak bisa dilepaskan dari rasa
keingintahuan yang besar diiringi dengan usaha-usaha yang sungguh-sungguh
melalui penalaran, percobaan, penyempurnaan, dan berani mengambil resiko tinggi
sehingga menghasilkan penemuan-penemuan yang bermanfaat bagi suatu generasi dan
menjadi acuan pertimbangan bagi generasi selanjutnya untuk mengoreksi,
menyempurnakan, mengembangkan, dan menemukan penemuan selanjutnya.
Faktor-faktor inilah yang kemudian menjadi pemacu bagi pesatnya perkembangan
ilmu yang melatarbelakangi semakin cepatnya penemuan dalam bidang teknologi
yang kadang membuat sebagian orang terlena karenanya sehingga tidak sadar bahwa
sebagian ilmu yang disalahgunakan bisa menjadi ancaman serius bagi kehidupan
mereka.
Poin penting yang perlu
dicatat di sini adalah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan harus diimbangi
dengan pengembangan moral-spiritual manusianya, karena sebagaimana kita tahu,
perkembangan ilmu pengetahuan selain berdampak positif, ia juga berdampak
negatif bagi kehidupan manusia. Dampak positifnya adalah semakin mempermudah
kehidupan manusia, sementara dampak negatifnya adalah semakin mengancam
kehidupan mereka. Oleh karena itu, agar tatanan kehidupan manusia di dunia ini
tetap lestari, maka perkembangan ilmu mesti diiringi dengan pengembangan
moral-spiritual manusia itu sendiri. Perkembangan ilmu tanpa pengembangan
moral-spiritual bisa menjadi ancaman bagi kehidupan manusia seperti yang bisa
kita rasakan akhir-akhir ini yang berupa penyalahgunaan teknologi nuklir.
Demikian pula pengembangan moral-spiritual tanpa diiringi perkembangan ilmu
bisa menjadikan sebagian manusia kurang kreatif seperti yang terjadi pada orang
Kristen pada zaman kegelapan Eropa. Dengan kata lain, antara otak dan hati
harus mendapatkan porsi perhatian yang seimbang. Sejarah sudah membuktikannya.
Sejarah merupakan disiplin ilmu yang memiliki validitas kebenaran yang tinggi
sehingga layak dijadikan bahan untuk mengambil pelajaran (‘ibrah).
Sumber :
Nama : Iman Lazuardi Zulkarnain
NPM : 13111540
Kelas : 1KA30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar